Pada awalnya strategi pembelajaran inquiry banyak diterapkan dalam ilmu-ilmu alam. Namun para ahli pendidikan ilmu sosial untuk mengadopsi strategi penyelidikan disebut penyelidikan sosial. Hal ini didasarkan pada asumsi pentingnya belajar IPS di masyarakat yang semakin cepat berubah, seperti yang diusulkan disebutkan oleh Robert A. Wilkinds di Wina Sanjaya (2006: 205) menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang terus bervariasi dalam ukuran, mengajar sosial studi harus menekankan pengembangan pemikiran, ledakan pengetahuan menuntut perubahan pola mengajar dari yang hanya sekedar mengingat fakta bahwa biasanya dilakukan melalui strategi pembelajaran dan kuliah (kuliah) atau dengan metode latihan (drill) di tradisional pola, ke dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis.
strategi yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir itu adalah strategi penyelidikan sosial belajar.
Menurut Bruce Joyce di Wina Sanjaya (2006: 205) adalah penyelidikan sosial strategi sosial kelompok subkelompok konsep masyarakat belajar.
Subkelompok didasarkan pada asumsi bahwa metode pendidikan bertujuan untuk mengembangkan anggota masyarakat yang ideal yang dapat hidup dan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu siswa harus diberi pengalaman yang memadai bagaimana memecahkan masalah yang timbul di masyarakat. Melalui pengalaman bahwa setiap individu akan mampu membangun pengetahuan yang berguna untuk diri mereka sendiri dan masyarakat.
Kesulitan saat mengaplikasikan strategy inquiry social ( spi )
SPI merupakan salah satu strategi yang dianggap baru, terutama di Indonesia. Sebagai strategi baru, dalam prakteknya ada beberapa kesulitan.
Pertama, SPI merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir yang mengandalkan dua sayap sama pentingnya, yaitu proses pembelajaran dan hasil belajar. Selama ini guru yang akrab dengan pola pembelajaran sebagai proses menyampaikan informasi yang lebih menekankan pada hasil belajar, banyak yang keberatan dengan perubahan pola mengajar. Bahkan, ada guru yang berpikir SPI sebagai strategi yang tidak dapat diterapkan karena tidaak sesuai dengan budaya dan sistem pendidikan di Indonesia. Memang, untuk mengubah kebiasaan bukanlah pekerjaan mudah, terutama sifat guru yang cenderung konvensional sulit untuk menerima pembaruan.
Kedua, karena lama tertanam dalam budaya belajar siswa pembelajaran yang pada dasarnya adaalah menerima materi pelajaran dari guru, sehingga bagi guru adalah sumber utama dari studi di luar negeri. Karena seperti budaya belajar terbentuk dan menjadi kebiasaan, akan sulit untuk mengubah pola belajar mereka dengan belajar manjadikan sebagai proses berpikir.
Ketiga, terkait dengan sistem pendidikan kita yang dianggap tidak konsisten. Sebagai contoh, sistem pendidikan menunjukkan bahwa proses pembelajaran harus menggunakan pola belajar yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir melalui pendekatan belajar aktif siswa, yang lebih dikenal dengan CBSA, atau melalui menganjurkan penggunaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) , tetapi pada sistem evaluasi sisi lain yang masih digunakan misalnya sistem nasional ujian akhir (UAS) berorientasi pada pengembangan aspek kognitif. Hal ini dapat menambah kebingungan, guru praktek di lapangan, apakah akan menerapkan pola pembelajaran menggunakan penyelidikan sebagai strategi pembelajaran yang menekankan pada proses belajar, atau akan mengembangkan pola pembelajaran yang diarahkan agar siswa dapat bekerja atau pertanyaan jawaban hafalan.
Sumber referensi : cahayaguru.com