Selama beberapa dekade terakhir, permainan arcade di Jepang sudah menghadapi serangkaian tantangan. Biasanya, tantangan berasal dari Arcade Game sendiri ialah teknologi konsol video game berteknologi tinggi yang menampilkan grafis tingkat tinggi yang sudah melampaui mereka. Sekarang ini, permainan arcade di Jepang menghadapi ancaman baru, bukan kompetisi teknologi, melainkan Covid-19.
Bahkan sebelum pandemi, arcade di Jepang sudah mengalami tren penurunan. Menurut buku putih polisi, cuma tersedia 4.022 tempat permainan arcade di semua Jepang pada 2019, turun 26.573 angka ketimbang th. 1986. Selama bertahun-tahun, arena bowling dan atap department store berfungsi sebagai area hiburan. Namco Games, misalnya, memulai bisnis hiburan permainan mereka pada pertengahan 1950-an, dengan di awali membangun dua kuda kayu hobi untuk atap department store Matsuya di Yokohama. Pada awal 1970-an, hiburan permainan itu diperluas ke game berteknologi elektromekanis, pelopor berasal dari game arcade modern di tokovoucher.id .
Game arcade layaknya yang kami kenal sekarang ini pertama kali jadi booming di Jepang pada akhir 1970-an, saat game Space Invaders meracuni tiap tiap masyarakat. Pusat permainan arcade kala itu sering kali disebut “Invader House”, karena asosiasi dengan permainan Space Invaders yang begitu kuat.
Dari akhir 70-an sampai awal 1990-an, permainan arcade berkembang pesat, berkat para pemuda dengan duit sekali menggunakan dan lemari arcade yang sering tawarkan grafik yang lebih baik daripada konsol rumah. Tetapi karena konsol tempat tinggal (Nintendo dan Sega) jadi kian kuat, serta internet yang memungkinkan permainan online, permainan arkade Jepang kehilangan beberapa berasal dari keuntungan mereka.
Meskipun kala dan teknologi terus terjadi dan berkembang, permainan arcade senantiasa punya energi tarik tersendiri yang tidak dapat digantikan oleh grafis yang lebih baik atau unit pemrosesan pusat. Permainan Arcade adalah tempat dimana para penikmatnya dapat bernostalgia, dan yang paling penting, permainan arcade adalah tempat dimana penikmatnya dapat berinteraksi dengan orang-orang yang punya minat yang sama. Daya tarik ini tidak terbatas pada gamer tradisional. Pada 2010 Nikkei melaporkan bahwa arcade meningkat jadi pusat sosial bagi para orang tua. Seorang pria berusia 65 th. menyebutkan pergi ke arkade dan melacak banyak teman menjadi layaknya berada dalam mimpi.
Ketika suasana darurat covid diumumkan di Tokyo dan Osaka, perusahaan raksasa arcade Taito dan Sega untuk kala menutup pusat permainan mereka. Yang terbuka sebetulnya menyita tindakan pencegahan, layaknya mendisinfeksi mesin arcade. Ketika menyebutkan kerugian operasional, Taito mengalami penurunan tajam dalam penjualan bersih, perusahaan induk Square Enix menyebutkan dalam laporan keuangan baru-baru ini bahwa penutupan ini dirancang untuk menolong memerangi penyebaran Covid-19.
“Pasar hiburan terus menghadapi lingkungan operasi yang keras mengingat dampak langsung yang ditimbulkannya berasal dari pandemi Covid-19,” jadi Square Enix dalam hasil keuangan terbarunya. Capcom juga mencatat bahwa bukan cuma pengunjung yang berasal berasal dari pejalan kaki ke arkade yang terpengaruh, tetapi juga penurunan keinginan untuk pembuatan mesin hiburan.
Dengan penutupan perbatasan yang sedang berlangsung, arcade yang mengandalkan turis internasional merasakan dampak krisis yang lebih tidak baik berasal dari sebelumnya. Sejak th. lalu, serentetan permainan arcade kondang di Tokyo sudah ditutup, juga Sega Akihabara Building 2, sebuah landmark tempat yang pada mulanya dikenal sebagai Akihabara Gigo, dan Shinjuku Playland Carnival yang sudah berusia 48 tahun.
Bisnis ini sulit, tetapi aku pikir kami dapat terlihat berasal dari ini suatu hari nanti,” ujar manajer Shinjuku Playland Carnival Noriyuki Shimoda kepada The Asahi Shimbun tentang penutupan tersebut. “Saya tidak dapat mendapatkan kata-kata untuk melukiskan perasaan saya,” kata dia.
Tampaknya tersedia sedikit perlindungan atau minat berasal dari pemerintah Jepang dalam meningkatkan arcade selama pandemi. Dengan tiap tiap penutupan arcade, beberapa berasal dari sejarah dan budaya game negara itu hilang. “Pemerintah tidak lakukan apa pun untuk menolong kami terlihat berasal dari suasana tanpa harapan ini,” ujar Yasushi Fukamachi, manajer di arcade Mikado Tokyo, menyebutkan kepada Agence France-Presse pada awal th. ini. “Penghasilan turun lebih berasal dari setengahnya. Ini mengerikan.”
Pemilik Mikado Minoru Ikeda, terpaksa mengajukan keinginan di website crowdfunding Campfire th. lalu. Untungnya, lebih berasal dari 3.800 pengagum ikut serta, menghasilkan lebih kurang US$343.000, sampai memadai untuk menolong kelanjutan permainan arcade miliknya. Namun, tentu tidak tiap tiap store arkade seberuntung itu.