Sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi jadi kuat di tengah terus menipisnya kuota Pertalite dan Solar bersubsidi. Dana subsidi dan kompensasi energi di dalam anggaran negara sebesar Rp 502 triliun barangkali tak memadai menjaga harga BBM tertentu terkecuali kuota tak dapat dikendalikan.

Pemerintah sesungguhnya gamang pas hendak mengambil kebijakan tidak populis tersebut. Karena itu, serangkaian pembahasan lintas kementerian dan lembaga sering digelar untuk menghitung bermacam indikator ekonomi -juga politik- yang barangkali terdampak. Sepanjang peristiwa republik ini, kenaikan harga BBM sesungguhnya selamanya menuai pro kontra. Namun apa harga BBM tidak mahal pas ini sesungguhnya dinikmati oleh semua masyarakat?

Victor, supir travel di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, menyatakan jarang beroleh Pertalite seharga Rp 7.650 per liter. Dia sering tidak beruntung pas hendak membelinya di semua stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina di Tambolaka, kota tempat tinggalnya. “Kalau sudi membeli Pertalite harus antre dari pukul empat pagi.

Siang baru dapat, kadang terhitung tidak kebagian,” kata Victor pekan lalu. “Di segi lain, kita harus mengejar jadwal penerbangan untuk melacak penumpang. Percuma saja dapat Pertalite tapi tak dapat penumpang.” Ia bercerita, antrian panjang di pom bensin bukan cerita baru di Tambolaka. Kisah ini berlangsung sejak lama sebelum akan kuota BBM bersubsidi secara nasional menipis. Sebagian besar yang mengantre adalah penjaja BBM eceran. Pertalite yang dibeli dari SPBU Pertamina dijual lagi dengan harga Rp 10 hingga 11 ribu per liter.

Beberapa penjaja BBM eceran bahkan terlihat menggelar dagangannya di depan SPBU Pertamina. Menurut Victor, penduduk selanjutnya belanja BBM dari penjaja eceran, atau belanja Pertamax dikarenakan Pertalite biasanya sudah habis pada siang atau pas antrean yang mengular tak terlihat lagi di SPBU.

Menurut dia, beberapa besar warga Sumba sudah lama merasakan harga Pertalite Rp 10 ribu per liter. Tak cuma di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, kelangkaan Pertalite terhitung berlangsung di beberapa tempat lainnya. Masih di Nusa Tenggara Timur, bahan bakar dengan RON 90 ini terhitung tak selamanya ada di SPBU di wilayah Labuan Bajo. Namun penduduk di sana lebih enteng menemukan Pertalite di penjaja eceran seharga Rp 20 ribu untuk 1,5 liter.

Warga Jabodetabek di dalam beberapa hari terakhir ini terhitung mengeluhkan Pertalite yang mulai langka di beberapa SPBU Pertamina. Kelangkaan Pertalite tak lepas dari mulai menipisnya kuota yang dapat disalurkan perusahaan pelat merah itu hingga akhir tahun ini.

Hingga Juli, Pertamina sudah menyalurkan 16,8 juta kilo liter (kl) flow meter dari keseluruhan kuota 23 juta kl hingga akhir tahun. Dengan demikian pada awal bulan ini, cuma tersisa 27 prosen atau 6,2 juta kl yang diharap dapat mencukupi permintaan hingga Desember 2022.

Kuota yang menipis terhitung berlangsung pada Solar bersubsidi. Hingga akhir bulan lalu, Pertamina sudah menyalurkan 9,9 juta kl dari keseluruhan kuota 14,9 juta kl tahun ini, agar cuma tersisa lima juta kl hingga akhir tahun. Kuota BBM bersubsidi yang menipis berlangsung meski pemerintah sudah mengerek anggaran subsidi dan kompensasi energi dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502 triliun pada Mei lalu. Ini dikarenakan harga minyak yang jadi melambung agar selisih dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang dipatok US$ 63 per barel jadi melebar.

Subsidi energi yang barangkali tak memadai hingga akhir tahun ini sebabkan pemerintah hingga DPR waswas. Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Presiden Joko Widodo mulai cemas APBN tak dapat menjamin beban subsidi energi yang berpotensi terus melonjak terkecuali konsumsi BBM bersubsidi tak dikendalikan. Sri Mulyani sebelumnya menyebut kuota BBM bersubsidi style pertalite menipis dan barangkali tidak dapat memadai hingga akhir tahun.

“Ini berarti dapat ada tambah di atas Rp 502,4 triliun yang sudah kita sampaikan, belum lagi harga minyak di dalam APBN kita asumsikan US$ 100 per barel, sebelumnya pernah capai US$ 120 per barel, kata dia dikutip dari Antara. Anggaran subsidi energi tahun ini merupakan yang tertinggi setidaknya di dalam tujuh tahun terakhir.

Pagunya terus naik di dalam tiga tahun terakhir. Namun, angka tersebut belum terhitung nominal kompensasi energi yang tidak kalah jumbo. Adapun pagu Rp 502,4 triliun tahun ini, terdiri atas subsidi energi Rp 208,9 triliun dan kompensasi Rp 293,5 triliun. Sinyal kenaikan harga BBM yang jadi kuat sudah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di dalam kuliah biasanya di Universitas Hasanuddin akhir pekan lalu. Ia menyebut, barangkali Presiden Jokowi dapat memberitakan ketentuan naik tidaknya harga BBM pada pekan depan. Harga BBM di Indonesia dinilai sudah sangat tidak mahal agar ada indikasi harganya mulai dikerek.

“Mungkin minggu depan presiden dapat memberitakan kenaikan harga BBM. Presiden sudah mengindikasikan. tidak barangkali kita mempertahankan harga yang terus demikian. Itu beban yang sangat besar untuk APBN,” kata Luhut pas beri tambahan kuliah umum di Universitas Hasanuddin pada Jumat (18/8). Beban APBN Makin Berat Ekonom INDEF Abra Talattov menyebut pemerintah sesungguhnya tetap punyai area untuk menambah subsidi energi pada tahun ini. Defisit anggaran tahun ini diperkirakan cuma 3,92% dari PDB, jauh di bawah obyek di dalam APBN sebesar 4,5%. “Kapasitas dan area fiskal kita terkecuali sesungguhnya terpaksa menambah kuota itu tetap ada, kita memandang kinerja APBN tetap surplus pas belanja terhitung tetap belum signifikan,” kata Abra dihubungi .

Namun demikian, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai pemerintah harus memandang dampak kebijakan harga BBM di dalam jangka panjang pada APBN. Ini mengingat komitmen untuk mempunyai defisit anggaran lagi ke bawah 3%. Sesuai amanat UU, pemerintah cuma diperbolehkan memperlebar defisit di atas 3% sepanjang tiga tahun sejak 2020. Pemerintah sudah berhasil menyusun lintasan yang mulus agar APBN dapat lagi sehat dengan mematok defisit sebesar 2,85% di dalam RAPBN 2023. Namun konsolidasi fiskal ini dapat susah dicapai terkecuali pemerintah mengambil keputusan menambah anggaran subsidi lagi.

“Untuk menjaga defisit di bawah 3% anggaran seharusnya mulai dari tahun ini sudah mulai diefisiensikan, agar sesungguhnya dapat lebih visibel bagi pemerintah untuk menentukan menaikan harga BBM ketmbang menahannya. Selain itu, menurut dia, pemerintah terhitung harus menyadari bahwa tantangan di sektor keuangan pas ini jadi berat. Kenaikan suku bunga sebabkan ongkos pinjaman menjadi lebih mahal. Alternatif sumber pembiayaannya dengan memangkas belanja lainnya yang berarti dapat mengganggu program prioritas pemerintah lainnya.

Riefky menilai, penambahan anggaran subsidi sesungguhnya mengundang tanda bertanya besar pada komitmen pemerintah untuk mendorong transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Subsidi energi sepanjang ini tetap banyak dinikmati oleh penduduk menengah atas. “Penambahan anggaran subsidi tentu dapat mengganggu progres dan upaya pemerintah menuju reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan lebih ramah lingkungan,” kata Riefky.

Alasan serupa sebelumnya sempat disinggung oleh Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah pada awal pekan lalu. Politikus asal Madura itu mempertanyakan urgensi pemerintah terus menambah anggaran di pas anggarannya justru tidak tepat sasaran. Ia menyebut selisih harga antara BBM bersubsidi dengan nonsubsidi jadi lebar. Hal ini yang kemudian mendorong banyak penduduk bermigrasi manfaatkan BBM subsidi, Walhasil, kuotanya jadi menipis. “Kalau layaknya ini pemerintah tidak punyai pijakan, lebih baik tidak ada penambahan anggaran, agar yang paling baik ada pemerintah secara gradual menambah harga BBM bersubsidi,” kata dia pas ditemui di Komplek Parlemen.

Dalam data Susenas 2020 memperlihatkan subsidi khususnya Pertalite justru banyak dinikmati penduduk menengah atas. Kondisi ini terlihat pada diagram di bawah ini yang menunjukkan, konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati 10% penduduk terkaya dibandingkan termiskin.

Bank Dunia terhitung sempat ‘menyentil’ pemerintah yang dinilai banyak menggelontorkan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi tapi tidak tepat sasaran. Subsidi energi diperkirakan meningkat dari 0,8% PDB menjadi 1,1% pada tahun ini. Subsidi yang digelontorkan ini beberapa besar justru dinikmati penduduk kelas menengah dan atas. Dua grup customer tersebut menyedot antara 42%-73% dari subsidi solar dan 29% dari subsidi LPG.

Bank Dunia mengestimasikan, terkecuali kedua subsidi ini dihapus, maka dapat menghemat anggaran capai 1,1% dari PDB. Pemerintah dapat menggantinya dengan pertolongan sosial kepada penduduk miskin, rentang dan kelas menengah yang sesungguhnya butuh dengan alokasi lebih kurang 0,5% PDB. Dengan demikian, secara neto, Bank Dunia menyebut keuntungan fiskalnya dapat sebesar 0,6% PDB. Lembaga ini terhitung menilai pertolongan subsidi cuma mencegah tekanan inflasi di dalam jangka pendek dikarenakan harga komoditas yang tinggi diperkirakan selamanya stabil dan karakteristik subsidi yang tidak berkelanjutan.

“Ada alasan kuat tentang perlunya buat persiapan rencana terlihat dari subsidi energi tinggi dengan meneruskan harga ke customer secara gradual dan beralih kepada subsidi yang ditargetkan untuk menjaga penduduk miskin dan rentan,” kata Bank Dunia di dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2022.

Kenaikan Inflasi dan Pukulan Daya Beli Menaikkan harga BBM untuk menjaga APBN bukan tanpa risiko. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kenaikan harga BBM subsidi style pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter dapat berikan tambahan inflasi 0,93%. Belum lagi, menurut dia, ada second-round effect atau dampak lapis kedua yang dapat muncil. Ia memperkirakan, kenaikan harga BBM dapat sebabkan inflasi naik ke kisaran 6%-7% pada akhir tahun ini.

“Produsen dan wholesaler dapat segera meneruskan kenaikan harga BBM ini ke konsumen. Kondisi ini beda dengan pas harga gandum naik, mereka belum meneruskan kenaikan itu ke konsumen. Tapi terkecuali kenaikan BBM, ini susah untuk ditahan,” kata Josua kepada Katadata.co.id Terlepas dari rencana kenaikan harga BBM, inflasi sesungguhnya terhitung sudah terlihat merangkak naik. Pada Juli, indeks harga customer (IHK) capai 4,94% yang merupaka rekor tertingginya sejak Oktober 2015.